Apakah pernah mendengar istilah “Mulutmu, harimaumu”? Setiap pembaca pasti telah
tahu maksud dari kata-kata ini, yakni ajakan untuk berhati-hati dalam
berkata-kata atau dengan kata
lain segala perkataan yang dikeluarkan bila tidak dipikirkan dahulu maka
dapat merugikan diri sendiri. Istilah
ini sangat dekat dengan realita di mana setiap pikiran yang terbentuk dalam
kata-kata akan memasuki tahap pembuktian, dalam arti perkataan yang terucapkan,
secara disadari atau tidak, akan nampak dalam kenyataan. Misalnya, cerita
tentang salah satu kebiasaan penduduk yang tinggal di kepulauan Solomon,
Pasifik Selatan yang memiliki kebiasaan menarik, yakni meneriaki pohon.
Kebiasaan ini mereka lakukan apabila terdapat pohon dengan akar-akar yang
sangat kuat dan sulit untuk dipotong dengan kapak. Caranya, beberapa penduduk
yang lebih kuat akan menaiki pohon itu dan bersama penduduk yang di bawah pohon
bersama-sama meneriaki pohon itu. Mereka melakukan itu berjam-jam selama empat
puluh hari. Alhasil, pohon yang diteriaki itu perlahan-lahan daun dan dahannya
mulai mongering dan akhirnya mati sehingga mudah ditumbangkan.
Istilah
“mulutmu, harimaumu” memperlihatkan rambu etika sosial yang mengajak kita
mengembangkan sikap santun, hormat, dan bijak dalam berkata-kata terhadap siapapun,
termasuk orang yang tidak sependapat dengan kita sekalipun. Bila rambu tersebut dilupakan atau
sengaja dilanggar, secara langsung atau tidak, maka tahap pembuktian akan
menampilkannya di kenyataan. Sebagai contoh, adanya suatu segmen yang ditayangkan oleh
TVOne dalam acara Indonesia Lawyer Club (ILC) beberapa waktu lalu dengan caption “Berebut Suara Ulama” yang
dihadiri oleh nara sumber dari kubu petahana, Maman Imanulhaq, dan dari oposan,
Eggi Sudjana. Ada salah satu
momen krusial di acara tersebut yang menggelitik dada ini sekaligus juga menguatkan maksud dari
istilah di atas. Pasalnya, segmen diskusi yang rencana didiakhiri oleh
Eggi Sudjana dengan landing mulus dan membuat penumpang turun dengan
lega menjadi pendaratan berbatu yang membuat penumpang trauma.
Awalnya berita dimulai dengan isu tentang pengaruh ulama dalam
perolehan suara pilpres 2019, seperti Ustad Abdul Somad dan AA Gym yang
dianggap keberpihakan mereka kepada salah satu kubu dapat memberi angin segar
bagi kubu tersebut dan keresahan bagi kubu lainnya. Dalam diskusi disampaikan
bahwa suara ulama sangat penting bagi kedua kubu, namun apakah cukup suara
cukup signifikan bila telah ‘mengantongi’ suara ulama? Diakhir segmen, Maman
Imanulhaq mengatakan “bagi kubu 01, Jokowi,
kehadiran ulama dalam pentas politik ini menjadi kekuatan besar sehingga
ulama-ulama yang menginginkan Indonesia lebih baik, optimis, dan sebagainya
pasti akan dukung 01” Tiba giliran Eggi Sudjana berbicara, “Itu harapan boleh, tetapi faktanya,
termasuk doa yang nilainya sangat spiritual ya, otaknya ibadah itu doa, mbah
Maimun saja yang sudah diklaim kelompok sana doain kite gitu loh.. itu yang
ngatur siapa? Ga mungkin kejadian tanpa seizin Allah, tidak mungkin... izin
Allah! itu serius... jadi dengan pendekatan itu, apalagi Ijtima ulama udah ada
dan ulama secara formil, saya sudah bilang, dan substansial dukungnya kosong
satu (01).. ah kosong dua”
‘Eng..
ing.. eng’ atau berbagai emoticon ‘LOL’ dalam mesin komen medsos menyambut akhir dari
pernyataan politikus PAN ini. Dapat
terbayang bagaimana oposan melihat momen ini dan berupaya ‘menghilangkan’nya.
Sekalipun demikian, jejak digital dapat kontraproduktif. Berusaha menjaring
suara, namun terasa menjaring angin.
Menariknya adegan
‘salah ucap’ itu tidak banyak dipercakapkan di sosial media. Ia seakan-akan berlalu
begitu saja, terdengar sesaat di telinga kemudian terkesan hilang. Ia seperti telah menjadi
pembahasan yang, bila dapat dikatakan, membosankan untuk
diperbincangkan lebih lanjut
lagi. Ini dapat dimengerti karena
berita-berita ‘blunder’ semacam itu terbilang cukup sering
terjadi. Adapula dikarenakan sikap partisan pro pemerintah yang mudah
memaafkan, seperti terlihat dari karakter Pakdhe Jokowi yang seakan-akan tidak
mengindahkan cercaan dan fitnah yang menyerangnya, dan terus fokus pada motto
“kerja, kerja, kerja”.
Dalam salah
satu kesempatan, Pakdhe Jokowi mangatakan bahwa rakyat Indonesia harus memiliki
sikap optimis menatap masa depan dan pikiran positif untuk bergerak maju. Bila
diperhatikan sikap atau perkataan yang diucapkan Jokowi ini dan
perkataan-perkataannya yang postif dan optimis sejak awal masa kepemimpinannya
telah membawa Indonesia menjadi lebih baik.
Hal ini
berbanding terbalik dari sikap Eggi Sudjana yang menyinggung ‘salah ucap’ Mbah
Maimun ketika mendoakan Jokowi, yang pada akhirnya ditutup dengan ‘salah
ucap’nya yang akan menjadi catatan penting untuk menghapus ‘gorengan’ berita
Mbah Maimun. Jejak digital bagi sebagian orang bermanfaat untuk kepentingan
kemanusiaan, namun bagi sebagian lainnya menjadi alat yang menyakitkan. Seperti
tikus yang berada dalam perangkapnya, demikian jejak digital bagi orang yang
berkata-kata tanpa dipikirkannya lebih dahulu.
***
Sumber:
https://youtu.be/qplwnUCZ7wU
* Tulisan ini dimuat di pepnews.com